Rabu, 09 Februari 2011

JAMUR AKAR PUTIH (JAP)

”PENGENDALIAN JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET (JAP)”
Tanaman karet merupakan salah satu komoditi andalan provinsi Kalimantan Barat. Luas areal perkebunan karet di Kalimantan Barat tahun 2005 adalah 464.274 Ha atau 12.9% dari luas perkebunan karet nasional dan merupakan peringkat ke-5 dari provinsi sentra karet di Indonesia (Haris, 2005). Dari total areal tanaman karet yang ada di provinsi Kalimantan Barat sebanyak 94% merupakan perkebunan rakyat, dan sisanya adalah perkebunan negara (PTPN) dan swasta (Lasminingsih, et al., 2005). Permasalahan utama pada perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas hasil yang disebabkan oleh rendahnya adopsi teknologi oleh petani, terutama penggunaan bahan tanam unggul, pemupukan , dan pengendalian penyakit.
Jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidiporus microporus merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman karet. Menurut Prawirosoemardjo, et al., dalam Situmorang, (2004), daerah yang sering mengalami serangan berat jamur akar putih di Indonesia adalah Riau, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Penyakit jamur akar putih menimbulkan kematian pada tanaman karet, sehingga serangan penyakit ini akan berpengaruh negatif pada produksi kebun. Sejak tahun 1995 World Agroforestry Centre (ICRAF), salah satu lembaga riset internasional yang bekerja sama dengan CIRAD-Perancis, GAPKINDO, dan Pusat Penelitian Karet (Balai Penelitian Karet Sembawa), giat melakukan penelitian di bidang wanatanai berbasis karet unggul (Rubber Based Agroforestry System atau RAS) (Wibawa, et al., 2006) di Indonesia (Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat). Di Kalimantan Barat, kegiatan ini dilakukan di Kabupaten Sanggau, Sekadau dan Sintang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet rakyat, melalui sistem wanatani berbasis karet.
Peningkatan produktivitas tanaman karet rakyat dalam kegiatan ini dilakukan dengan implementasi pembangunan berbagai demplot dengan pola RAS di lahan petani (onfarm trial/OFT), pembangunan kebun entres desa/kelompok, pelatihan tentang budidaya dan pengendalian penyakit karet kepada para petani dan petani andalan, serta para penyuluh, yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap pengembangan karet rakyat. Kegiatan pelatihan diselenggarakan bekerja sama dengan Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet. Penyakit Jamur Akar Putih yang disebabkan oleh R. microporus adalah penyakit tidak hanya menyerang tanaman karet, namun juga menyerang berbagai tanaman tahunan. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk mencegah perkembangan penyakit yang mematikan ini. Makalah ini membahas status serangan Jamur Akar Putih pada tanaman karet dan upaya-upaya pengendalian Jamur Akar Putih di tingkat operasional.
1. DESKRIPSI PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH (JAP)
a. Pengenalan
Penyakit Jamur Akar Putih disebabkan oleh Rigidoporus lignosus atau R. microporus yang menyerang akar tunggang maupun akar lateral. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian tanaman dengan intensitas yang sangat tinggi terutama pada tanaman karet yang berumur 2-4 tahun. Serangan dapat terjadi mulai pada pembibitan, tanaman belum menghasilkan (TBM) sampai tanaman menghasikan (TM). Pada permukaan akar terserang ditumbuhi benang-benang jamur berwarna putih kekuningan dan pipih menyerupai akar rambut. Benang-benang tersebut menempel kuat pada akar sehingga sulit dilepas. Akar tanaman yang sakit akhirnya membusuk, lunak dan berwarna coklat. Gejala ini baru terlihat apabila daerah perakaran dibuka. Membusuknya akar diduga karena rusaknya struktur kimia kulit dan kayu akibat enzim yang dihasilkan jamur. Rizomorpha adalah paduan kompak benang-benang jamur yang menyerupai akar tanaman. Rizomorpha R. lignosus yang muda berwarna putih dan bentuknya pipih, semakin tua umur rizomorpha warna putih berubah menjadi kuning gading dan bentuknya menyerupai akar rambut. Selain dapat menyerang secara akut, R. lignosus dapat pula menyerang secara kronis pada tanaman yang telah tua. Gejala serangan secara kronis tersebut tidak tampak jelas dan baru terlihat apabila tanaman dibongkar sebagian akar-akarnya telah ditumbuhi rizomorpha jamur.
Tanaman karet yang terserang daun-daunnya berwarna hijau kusam, layu dan gugur, kemudian diikuti dengan kematian tanaman. Jamur ini menular melalui kontak langsung antara akar atau tunggul yang sakit dengan akar tanaman sehat. Pada perakaran tanaman sakit tampak benang-benang jamur bewarna putih dan agak tebal ( rizomorf ). Penyakit akar putih sering dijumpai pada tanaman karet umur 1-5 tahun terutama pada tanaman yang bersemak, banyak tunggul, sisa akar, dan pada tanah gembur atau berpasir. Jamur kadang-kadang menbentuk badan buah mirip topi bewarna jingga kekuning-kuningan pada pangkal tanaman. Spora dapat juga disebarkan oleh angin yang jatuh di tunggul dan sisa kayu akan tumbuh membentuk koloni. Umumnya penyakit akar terjadi pada pertanaman bekas hutan atau tanaman, karena banyak tunggul dan sisa-sisa akar sakit dari tanaman sebelumnya yang tertinggal di dalam tanah yang menjadi sumber penyakit.
Penyakit jamur akar putih (JAP) pada tanaman karet sering menimbulkan masalah di beberapa negara produksi karet terutama Indonesia dan Malaysia. Penyakit ini dapat dijumpai di pembibitan, kebun entres, tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM), bahkan di area kebun karet tua. Di Indonesia, diperkirakan kerugian finansial sebagai akibat kematian oleh Jamur akar putih mencapai Rp. 300 milyar per tahun dengan tingkat keparahan lebih dari 3 % di perkebunan besar swasta dan negara dan 5% akan mengakibatkan turunnya produksi sebesar 89.43 kg/ha/tahun. Hasil perhitungan Situmorang (2004) penurunan produksi karet kering terjadi rata-rata 2.7 kg/pohon atau 54 kg/pohon/20 tahun.
b. Pengamatan
Tujuan pengamatan adalah mengetahui kondisi ekosistem kebun yang meliputi antara lain keadaan tanaman, gejala serangan penyakit dan faktor lingkungannya seperti iklim, tanah dan air. Hasil pengamatan dianalisa untuk pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan dalam mengelola ekosistem di kebunnya. Pengamatan dilakukan sesuai luasan yang dimiliki oleh petani. Apabila ada tanaman yang daun-daunnya berwarna hijau gelap atau kusam, permukaan daun menelungkup, adakalanya membentuk bunga dan buah padahal belum sesuai dengan umurnya, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan membuka tanah di sekitar pangkal batang tanaman untuk melihar tingkat serangan penyakit.
Bagian tanaman yang diamati
Batang, cabang dan ranting pada daerah yang bercurah hujan tinggi.
Interval pengamatan
1-2 minggu sekali, dimulai pada awal sampai akhir musim hujan terutama daerah yang sering diserang jamur upas dan berkelembaban tinggi.
Intensitas Serangan
Ringan : bagian pangkal atau atas percabangan tampak benang putih seperti sutera.
Berat : Cabang atau ranting yang terserang akan membusuk dan mati serta mudah patah.
Untuk meyakinkan adanya serangan jamur akar putih pada suatu areal pertanaman karet, dapat dilakukan dengan cara menutup leher akar tanaman yang dicurigai dengan mulsa/serasah/rumput kering, 2-3 minggu kemudian akan tampak benang-benang jamur yang melekat pada leher akar apabila mulsa diangkat. Pengamatan tajuk tanaman untuk keseluruhan areal kebun karet dilakukan setiap 3 bulan, dimulai sejak tanaman berumur 6 bulan. Pemeriksaan dengan menggunakan mulsa dilakukan setiap 6 bulan yaitu pada awal dan akhir musim hujan.
2. Penularan dan Perkembangan Jamur Akar Putih
Penyakit jamur akar putih yang disebabkan oleh jamur Rigidoporus lignosus termasuk katagori jamur yang bersifat parasit fakultatif, yang berarti bahwa patogen tersebut tidak dapat bertahan lama tanpa adanya sumber makanan. Hal ini menunjukkan bahwa timbulnya penyakit JAP sangat ditentukan oleh adanya sisa-sisa akar/tunggul tanaman sebelumnya di dalam kebun. Sumber penyakit JAP lainnya yang tidak dapat dikesampingkan adalah penggunaan bibit sakit akibat seleksi bibit tidak dilakukan dengan cermat atau karena tenaga seleksi yang tidak terampil. Disamping itu spora yang dihasilkan dari tubuh buah jamur dapat menjadi sumber infeksi melalui media perantara berupa tunggul-tunggul/akar di dalam kebun. Spora jamur akan berkecambah apabila jatuh pada penampang tunggul segar kemudian rhizomorf menuju ke akar bawah tunggul yang selanjutnya menjadi sumber infeksi bagi tanaman di sekitarnya.
Penyebaran JAP yang paling dominan terutama melalui kontak akar. Apabila akar-akar tanaman sehat telah saling bersinggungan dengan akar yang terinfeksi, maka rhizomorf JAP akan menjalar ke akar sehat menuju ke leher akar dan selanjutnya rhizomorf akan menjalar ke akar-akar samping lainnya. Pohon yang telah terinfeksi akan bertindak sebagai sumber infeksi bagi tanaman lainnya. Hal ini menyebabkan pertanaman karet yang terserang JAP cenderung mengelompok yang makin lama makin luas. Sebagai gambaran, bila seandainya terdapat 50 pohon mati/sakit dari suatu areal dengan tingkat infeksi baru sebanyak 10% setiap bulan, maka setelah jangka waktu satu tahun (t) jumlah tanaman sakit menjadi 50 + (10% x 12) atau 110 pohon. Untuk menghitung jumlah tanaman sakit setelah waktu tertentu (t) dapat disederhanakan dengan menggunakan rumus Van der Plank (1963) sebagai berikut:
[Xt = Xo (1 + rt)]
Keterangan :
Xt = jumlah tanaman sakit setelah waktu t
Xo = jumlah tanaman sakit pada awal infeksi (t = 0)
R = laju infeksi, tanaman yang terinfeksi selama periode t
T = jangka waktu berkembangnya penyakit
Pada kasus tersebut, bahwa penyebaran penyakit ke tanaman sehat hanya terjadi melalui inokulum pada tepi rumpang, sedangkan tanaman yang berada di tengah tumpang tidak merupakan sumber infeksi. Dengan dengan pertambahan tanaman sakit sama dengan uang yang dibungakan dengan bunga tunggal.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Jamur Akar Putih
Umumnya penyakit jamur akar putih R. lignosus berjangkit dan mengakibatkan banyak kematian pada pertanaman karet muda yang berumur 2-4 tahun. Masalah tersebut umumnya timbul setelah suatu kebun karet diremajakan atau suatu hutan dikonversikan menjadi kebun karet. Timbulnya penyakit akar R. lignosus erat hubungannya dengan kebersihan lahan. Tunggul atau sisa tebangan pohon, perdu dan semak yang tertinggal dalam tanah merupakan substrat R. lignosus. Potensi R. lignosus sangat ditentukan oleh banyaknya tunggul di lahan yang bersangkutan. Lama bertahan R. lignosus dalam tanah disamping ditentukan oleh hal tersebut juga ditentukan oleh ikut sertanya organisme renik yang melapukkan tunggul. Jamur akar putih berkembang dengan baik pada tanah posporus hingga di daerah liparit yang terdapat luas di Sumatera Timur dan Jawa Timur bagian Selatan. Penularan penyakit terjadi karena adanya kontak antara akar sakit dan sehat atau adanya miselium yang tumbuh dari food base di sekitar perakaran tanaman sehat. Lama penularan penyakit pada tanah berpasir dapat bervariasi antara 1-2 tahun.
4. Pencegahan Penyakit Jamur Akar Putih
Pencegahan Penyakit Jamur Akar Putih pada tanaman karet dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
  1. Pembongkaran atau pemusnahan tunggul akar tanaman.
  2. Penanaman bibit sehat. Bibit stum mata tidur yang akan dimasukkan ke polybag atau akan ditanam sebaiknya diseleksi dulu, bibit yang tertular masih dapat digunakan dengan cara mencelupkan bagian perakaran dengan larutan terusi 2%.
  3. Pada areal yang rawan jamur akar putih, yaitu lahan yang terdapat banyak tunggul, tanah gembur dan lembab sebaiknya tanaman ditaburi belerang sebanyak 100-200 gr/pohon selebar 100 cm, yang kemudian dibuat alur agar belerang masuk kedalam perakaran. Pemberian belerang ini diberikan setiap tahun sekali sampai dengan tanaman berumur lima tahun.
  4. Pemupukan yang rutin agar tanaman sehat.
5. Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih
Pengendalian penyakit JAP saat ini lebih dititikberatkan pada pengendalian hama/penyakit terpadu (PHT) sejalan dengan peraturan pemerintah tentang Integrated Pest Management (IPM) yaitu dengan menggabungkan beberapa komponen pengendalian seperti kultur teknis, biologis dan kimiawi sebagai berikut:
  1. Menanam klon yang tahan seperti BPM 107, PB 260, PB 330, AVROS 2037, PBM 109, IRR 104, PB 217, PB 340, PBM 1, PR 261, dan RRIC 100, IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 112 dan IRR 118.
  2. Jarak tanam diatur tidak terlalu rapat.
  3. Cabang/ranting yang telah mati dipotong dan dimusnahkan.
  4. Cabang yang masih menunjukkan gejala awal (sarang laba-laba) segera dioles dengan fungisida Bubur Bordo, Calixin 750 EC atau Antico F-96 hingga 30 cm ke atas dan ke bawah.
  5. Bubur Bordo dan fungisida yang mengandung unsur tembaga tidak dianjurkan pada tanaman yang telah disadap, karena dapat merusak mutu lateks.
  6. Pada kulit yang mulai membusuk harus dikupas sampai bagian kulit sehat.
  7. kemudian dioles fungisida hingga 30 cm keatas dan ke bawah dari bagian yang sakit.
  1. Secara Kultur Teknis
Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan melalui beberapa tindakan diantaranya pengolahan tanah, seleksi bibit, pemeliharaan tanaman dan penanaman kacangan penutup tanah.
a. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah secara mekanis bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi, menyingkirkan tunggul dan sisa-sisa akar tanaman sebelumnya yang dapat menjadi sumber infeksi atau menekan R0. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kenyataan bahwa akar karet berdiameter 1 cm dengan panjang 4 cm cukup untuk menjamin ketersediaan makanan R. lignosus hingga kurang lebih 4 bulan pada tanah tanpa penutup kacangan (Sinulingga, 1987) dan 3 bulan pada penutup tanah kacangan (Fox, 1970). Oleh sebab itu disamping tunggul, akar-akar lateral perlu dimusnahkan.
b. Seleksi Bibit
Seleksi bibit sebagai bahan tanam merupakan pekerjaan penting yang harus dilakukan, namun pada kenyataannya hal itu selalu diremehkan bahkan diabaikan, sehingga setelah satu tahun bahkan enam bulan ditanam di lapangan banyak tanaman yang mati disebabkan oleh JAP. Hal ini membuktikan bahwa bibit tersebut telah terinfeksi oleh JAP sebelum dipindahkan ke lapangan. Sebagai akibatnya bukan saja biaya pemeliharaan meningkat akan tetapi penyiapan pohon untuk penyisipan selalu menjadi kendala (tidak tersedia).
c. Penanaman Kacangan Penutup Tanah
Pada tahun 1960-an, perkebunan karet dianjutkan agar bebas dari persaingan sehingga tanpa ada gulma di sekitar tanaman. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa secara jangka panjang cara tersebut berdampak negatif terutama terjadi erosi akibat hujan. Oleh karena itu kebijaksanaan yang ditempuh dewasa ini adalah membangun kacangan sebagai penutup tanah pada tanaman TBM atau lebih dianjurkan sebelum tanaman karet ditanam (Mangoen Soekardjo, 1981). Hasil penelitian kacangan sebagai penutup tanah menunjukkan bahwa tanaman kacangan ternyata dapat mengurangi tingkat serangan JAP. Hal ini disebabkan penutup tanah kacangan dismaping dapat mempercepat pembusukan sisa-sisa akar juga mendorong atau meningkatkan mikroba tanah seperti Actinomycetes atau jamur-jamur lain yang bersifat antagonis terhadap Rigidoporus lignosus (Basuki, 1985).
2). Pengendalian Biologi
Pengendalian biologis dengan bahan biofungisida TRIKO SP plus merupakan tindakan preventif untuk mencegah meluasnya penyakit JAP. Biofungisida TRIKO plus mengandung dua agensia yang bersifat antagonis terhadap JAP dan bersifat dekomposisi dapat digunakan sejak awal, mulai dari pencampuran tanah pengisi lubang tanam pada saat menanam kemudian diikuti dengan penaburan di sekeliling pohon sejak tanaman berumur 6 bulan di lapangan. TRIKO Plus ditabur di sekeliling pangkal pohon hingga radius 50 cm dengan interval 6 bulan selama TBM minimal 6 kali tergantung banyaknya sumber infeksi di lapangan.
Cara pengaplikasi Trico-SP, bahan berbentuk serbuk yang mengandung Trichoderma sp ini dicoba pada tanaman muda dan sudah menghasilkan. Penggunaan 50 gram/pohon diberikan untuk pencegahan serangan JAP pada tanaman saat di polibag dan saat ditanam di lapangan, sementara 100gram/pohon diberikan pada pohon yang sudah terserang. Bahan ini dicampur dengan tanah di polibag dan di lubang tanam, sementara untuk tanaman yang sudah menghasilkan, terlebih dahulu dibuat parit keliling radius 0.5 m dari pangkal pohon yang akan diisi oleh Trico-SP dan ditutup kembali dengan tanah.
3). Pengendalian Kimiawi
Pengendalian penyakit JAP secara kimiawi merupakan tindakan kuratif yang dilakukan pada tanaman sakit. Penggunaan bahan kimia semula aplikasinya dilakukan dengan cara pelumasan (pointing) menggunakan bahan fungisida Collar Protectant (CP) dengan bahan aktif Penta Chloro Nitro Benzene (PCNB) seperti Fomac 2, Ingropasta, Shell Collar Protectant dan fungisida Tridemorf (Calixin CP). Aplikasi dengan cara pelumasan ini sulit untuk dilaksanakan karena harus membuka perakaran terlebih dahulu dan keterbatasan tenaga. Kemudian dengan berkembangnya teknologi maka aplikasi fungisida dilakukan dengan cara penyiraman (Dranching). Fungisida yang efektif terhadap JAP adalah Bayleton 250 EC dengan dosis 10-15 cc/liter air/pohon/aplikasi dengan interval aplikasi 4 bulan. Bagi pohon karet yang mengalami infeksi berat aplikasi fungisida dianjurkan dengan cara pelumasan dengan membuka leher akar terlebih dahulu. Cara pelumasan ini ndapat digunakan fungisida Bayleton 250 EC yang dicampur dengan kaolin dan Agristick. Bahan campuran ini mudah diaplikasikan sehingga dalam pelaksanaannya tidak mengalami kesulitan. Dalam konsepsi pengendalian penyakit secara terintegrasi, penggunaan pestisida masih tetap diperlukan. Oleh sebab itu monitoring untuk mengetahui serangan penyakit secara dini merupakan langkah awal keberhasilan pengendalian penyakit.
Cara pengaplikasian Bayleton, Bayleton 5 cc/l dicampur dengan air sampai menjadi satu liter, disiramkan di sekitar pangkal pohon dengan sebelumnya membuat parit keliling agar campuran bayleton tersebut dapat terserap hingga ke daerah perakaran tanaman. Berdasarkan umur tanaman, campuran bayleton tersebut diberikan sebanyak 250 ml/pohon (< 1 tahun), 500 ml/pohon (2-3 tahun) dan 1000 ml/pohon > 3 tahun). Pada perlakuan pengobatan diberikan 1000 ml/pohon yang diulang setiap enam bulan sekali.
Berdasarkan hasil pengamatan satu tahun setelah aplikasi, pada kasus pohon per pohon, dimana hanya beberapa pohon dengan tetangga terdekatnya yang diobati, kematian karet pada sub plot yang diberi perlakuan bayleton sebesar 5.3%, sedangkan sub plot dengan perlakuan Trico-SP adalah sebesar 8.1%. Aplikasi bayleton dan Trico-SP pada semua pohon dalam plot memperlihatkan kematian satu tahun setelah aplikasi sebesar 5.3% dan Trico-SP sebesar 5.1%. Dengan relatif rendahnya tingkat kematian setelah satu tahun pengobatan, dua cara pengendalian tersebut sangat diperlukan untuk menahan dan mengontrol serangan JAP, terutama dalam penggabungan penggunaan Trico-SP di tingkat pencegahan dan Bayleton pada pengobatan lebih lanjut.
Dilakukan pada saat serangan dini dan dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Pengobatan dilakukan dengan cara menggali tanah pada daerah leher akar, kemudian leher akar diolesi dengan fungisida dan tanah ditutup kembali dengan tanah 2-3 hari setelah aplikasi. Jenis fungisida dan alternatif penggunaannya adalah sebagai berikut:
  1. Pengolesan : Calixin CP, Fomac 2, Shell CP dan Ingro Pasta 20 PA.
  2. Penyiraman: Alto 100SL, Anvil 50 SC, Bayfidan 250 EC, Bayleton 250 EC, Sumiate 12.5 WP, Tilt 250 EC dan Calixin 750 EC.
  3. Penaburan: Belerang, Bayfidan 3G, Anjap P, Biotri P dan Triko SP+.
  4. Pada areal tanaman yang mati sebaiknya dilakukan pembongkaran tunggul dan diberikan belerang sebanyak 200 gr, agar jamur yang ada mati.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. untukku dan untukmu. http://mbojo.wordpress.com/2007/ 03/16/mikoriza. diakses pada 1 April 2010
Anonim. 2010. Biopestisida untuk Perlindungan Tanaman Hutan. Sylva
Tropika. http://Litbang.com. Jakarta. 9:10 – 11 pp
Anwar, Chairil. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. PT FABA Indonesia Konsultan. Jakarta.
M. J. Rosyid. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya karet Bagi Pengembangan Wilayah Pasang Surut di Kalimantan Tengah. Balai Penelitian Karet, Sembawa, Sumatera Selatan.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Widyastuti, S.M., Sumardi dan N. Hidayati.1998b. Kemampuan Trichoderma spp untuk pengendalian hayati fungi akar putih pada mangium secara in vitro. Buletin Kehutanan. 36:24-38

Di salin oleh p2lpbp3k mesuji.........

Tidak ada komentar: